Review Film The Wailing
Review Film The Wailing. Di akhir 2025, film “The Wailing” (2016) masih jadi benchmark horror Korea yang bikin merinding, disutradarai Na Hong-jin dengan campuran misteri, supranatural, dan thriller. Rilis perdana di Cannes, film ini langsung jadi hits dengan lebih dari 6 juta penonton di Korea Selatan dan skor Rotten Tomatoes 99% dari kritikus. Ceritanya tentang polisi desa yang selidiki wabah aneh yang bikin penduduk gila dan bunuh diri, tambah elemen shamanisme dan eksorsisme. Di tengah banjir horror modern, “The Wailing” beda karena lambat tapi intens, bikin penonton tegang sepanjang 156 menit tanpa bergantung jump scare murahan. BERITA BASKET
Plot dan Ketegangan yang Membangun: Review Film The Wailing
Cerita dimulai saat warga desa tiba-tiba sakit misterius, bunuh keluarga mereka sendiri. Polisi Jong-goo, ayah keluarga sederhana, selidiki kasus ini sambil lindungi putrinya yang mulai terpengaruh. Seorang pendatang Jepang dicurigai sebagai dalang, sementara shaman lokal tawarkan ritual untuk selamatkan korban. Plotnya berliku: dari investigasi polisi biasa jadi horor supranatural penuh twist. Na Hong-jin pintar bangun suspense secara bertahap, dengan adegan ritual hujan deras yang ikonik dan mimpi buruk yang bikin gelisah. Durasi panjangnya justru jadi kekuatan, beri waktu untuk dalami misteri tanpa terburu-buru, buat akhir yang ambigu tapi memuaskan.
Karakter dan Akting yang Kuat: Review Film The Wailing
Karakter utama Jong-goo diperankan Gong Yoo dengan natural, dari polisi cuek jadi ayah panik yang rela apa saja. Putrinya, Hyo-jin, beri nuansa polos yang kontras dengan kegelapan sekitar. Shaman Il-gwang dan pendatang misterius tambah lapisan: siapa musuh sebenarnya? Akting ensemble top-notch, bikin emosi terasa nyata—ketakutan, kemarahan, dan keputusasaan. Tema keluarga dan kepercayaan jadi inti, kritik halus pada masyarakat yang mudah percaya takhayul saat krisis. Film ini tak hitam-putih; setiap karakter punya sisi abu-abu, buat penonton ragu dan ikut teka-teki.
Elemen Horor dan Tema Budaya
Horor di sini campur folklore Korea seperti gwishin (hantu) dan mudang (shaman), dengan pengaruh Jepang dan Kristen. Adegan pengusiran setan brutal tapi artistik, tanpa gore berlebih. Sinematografi indah gambarkan desa pegunungan yang indah tapi menyeramkan, kontras sempurna dengan kegelapan batin. Tema utama: ketakutan tak dikenal, prasangka terhadap orang asing, dan bahaya fanatisme agama. Na Hong-jin, yang sebelumnya sukses dengan thriller, gabung semuanya jadi alegori sosial tentang wabah dan paranoia, mirip situasi pandemi nyata. Hasilnya, film ini bukan sekadar seram, tapi pikiran provokatif.
Kesimpulan
“The Wailing” tetap jadi masterpiece horror yang tak lekang waktu: plot rumit, akting solid, dan horor psikologis yang bikin mikir lama setelah kredit bergulir. Na Hong-jin ciptakan karya yang campur ketakutan primal dengan komentar budaya, buat pengalaman nonton unik. Di 2025, saat horror sering formulaik, film ini ingatkan pentingnya cerita mendalam. Rekomendasi mutlak bagi pecinta genre—nonton malam hari, tapi siap insomnia karena misterinya nempel. Karya Korea yang bukti film bisa seram sekaligus cerdas, layak ditonton ulang berkali-kali.



Post Comment