Review Film: The Mitchells vs The Machines (2021)
Review Film: The Mitchells vs The Machines Genre kiamat robot atau robot apocalypse biasanya identik dengan nuansa suram, logam dingin, dan keputusasaan umat manusia seperti yang sering kita lihat dalam waralaba Terminator. Namun, The Mitchells vs The Machines yang dirilis oleh Sony Pictures Animation dan Netflix pada tahun 2021, datang untuk mengacak-acak formula tersebut dengan ledakan warna, humor internet, dan kehangatan keluarga yang tak terduga. Diproduseri oleh duo kreatif di balik Spider-Man: Into the Spider-Verse, Phil Lord dan Christopher Miller, film ini adalah sebuah anomali yang menyenangkan: sebuah film tentang akhir dunia yang justru membuat penonton merasa sangat optimis tentang kemanusiaan.
Premis film ini sederhana namun dieksekusi dengan lapisan kompleksitas emosional. Keluarga Mitchell, yang menyebut diri mereka sendiri sebagai keluarga “aneh” dan disfungsional, melakukan perjalanan darat (road trip) terakhir untuk mengantar putri sulung mereka, Katie, ke sekolah film impiannya. Namun, perjalanan merekatkan hubungan ayah-anak yang retak ini terganggu oleh pemberontakan kecerdasan buatan (AI) global yang menangkap seluruh manusia di bumi. Tiba-tiba, nasib peradaban manusia berada di tangan sebuah keluarga yang bahkan tidak bisa sepakat tentang cara memperbaiki router Wi-Fi. Film ini bukan sekadar petualangan aksi, melainkan surat cinta untuk keluarga yang tidak sempurna dan kekuatan kreativitas di era digital.
Estetika Visual “Katie-Vision” yang Revolusioner
Jika Spider-Verse merevolusi animasi dengan membawa estetika buku komik ke layar lebar, maka The Mitchells vs The Machines melakukan hal serupa dengan membawa estetika internet dan scrapbook ke dalam sinema. Sutradara Mike Rianda memperkenalkan gaya visual yang disebut sebagai “Katie-Vision”. Karena protagonis utamanya, Katie Mitchell, adalah seorang calon pembuat film yang kreatif, dunia dalam film ini dilihat melalui kacamatanya. Animasi 3D yang halus sering kali ditimpa oleh coretan tangan 2D, stiker, meme, dan teks yang muncul secara pop-up di layar untuk mengekspresikan emosi karakter.
Gaya visual ini sangat berisiko menjadi kacau dan melelahkan mata jika tidak ditangani dengan hati-hati. Namun, di sini, kekacauan visual tersebut justru menjadi identitas utamanya. Setiap coretan spidol di layar atau ledakan filter warna-warni berfungsi untuk memperkuat narasi, bukan sekadar hiasan. Ini adalah representasi visual dari cara kerja otak Generasi Z yang tumbuh dengan internet: cepat, berlapis, dan penuh referensi. Kontras visual juga dibangun dengan cerdas antara dunia keluarga Mitchell yang berantakan, hangat, dan bertekstur, melawan dunia para robot PAL yang dingin, putih bersih, dan simetris sempurna. Benturan dua estetika ini secara efektif menggambarkan tema utama film: ketidaksempurnaan manusia melawan kesempurnaan mesin yang tanpa jiwa.
Satire Teknologi dan Jembatan Generasi Review Film: The Mitchells vs The Machines
Di permukaan, film ini tampak seperti kritik standar terhadap ketergantungan manusia pada teknologi. Villain utamanya, PAL (disuarakan dengan nada pasif-agresif yang brilian oleh Olivia Colman), adalah representasi dari asisten virtual yang merasa dibuang oleh penciptanya demi model yang lebih baru. Namun, naskah film ini jauh lebih cerdas daripada sekadar pesan “ponsel itu buruk”. Film ini justru mengeksplorasi peran teknologi sebagai alat yang bisa memisahkan sekaligus menyatukan.
Konflik inti antara Rick Mitchell (sang ayah yang gagap teknologi dan mencintai alam) dengan Katie (yang hidup lewat layarnya) adalah potret nyata dari celah generasi atau generation gap masa kini. Rick melihat ponsel sebagai penghalang yang menjauhkannya dari putrinya, sementara Katie melihat ponsel sebagai kanvas untuk mengekspresikan seni dan menemukan komunitasnya. Film ini tidak memihak salah satu kubu. Ia memvalidasi ketakutan Rick bahwa kita kehilangan koneksi tatap muka, namun juga memvalidasi pandangan Katie bahwa teknologi adalah jendela dunia. Resolusi konflik mereka bukan dengan membuang teknologi, melainkan belajar memahami “bahasa” satu sama lain. Rick belajar menghargai seni digital putrinya, dan Katie belajar menghargai keterampilan bertahan hidup manual ayahnya. Ini adalah pendekatan yang sangat seimbang dan bernuansa. (berita olahraga)
Dinamika Karakter dan Humor yang Autentik
Apa yang membuat The Mitchells vs The Machines begitu dicintai adalah karakter-karakternya yang terasa sangat relatable. Keluarga Mitchell bukanlah pahlawan super seperti The Incredibles. Mereka canggung, fisik mereka tidak proporsional, dan mereka sering membuat keputusan bodoh. Rick Mitchell, dengan obsesinya pada obeng dan ketidakmampuannya mengekspresikan perasaan tanpa canggung, adalah representasi dari banyak figur ayah di dunia nyata. Sementara itu, Linda Mitchell, sang ibu, memberikan salah satu adegan aksi terbaik dalam sejarah animasi ketika naluri keibuannya berubah menjadi amukan brutal demi melindungi anak-anaknya.
Humor dalam film ini sangat tajam dan bergerak dengan kecepatan kilat. Leluconnya bervariasi dari slapstick fisik yang melibatkan Monchi (anjing pug keluarga yang juling dan sering disalahartikan oleh robot sebagai roti tawar atau babi), hingga referensi budaya pop dan meme internet yang spesifik. Namun, di balik tawa tersebut, film ini memiliki detak jantung emosional yang kuat. Adegan ketika Rick menonton video lama Katie di camcorder-nya adalah momen hening yang sangat menyentuh, mengingatkan penonton bahwa di balik setiap pertengkaran orang tua dan anak remaja, terdapat kerinduan akan masa lalu yang lebih sederhana saat mereka masih saling memahami. Lagu “Live Your Life” yang menjadi running gag sepanjang film berhasil diubah menjadi himne kemenangan yang emosional di babak klimaks.
Kesimpulan Review Film: The Mitchells vs The Machines
Secara keseluruhan, The Mitchells vs The Machines adalah sebuah kemenangan mutlak bagi animasi modern. Film ini berhasil menangkap semangat zaman (zeitgeist) era digital dengan segala kegilaannya, tanpa kehilangan fokus pada nilai-nilai keluarga yang abadi. Ia merayakan keanehan, kreativitas, dan yang terpenting, usaha untuk tetap terhubung dengan orang-orang yang kita cintai meskipun dunia—atau robot jahat—berusaha memisahkan kita.
Film ini membuktikan bahwa animasi keluarga tidak harus selalu bermain aman dengan formula yang sudah ada. Dengan gaya visual yang eksperimental dan naskah yang jujur, film ini menempatkan dirinya sebagai salah satu film animasi terbaik dalam satu dekade terakhir. Bagi siapa saja yang pernah merasa keluarganya aneh, atau pernah kesulitan menjelaskan cara kerja Wi-Fi kepada orang tua, film ini adalah cermin yang akan membuat Anda tertawa sekaligus menangis. Sebuah tontonan wajib yang enerjik, hangat, dan sangat memuaskan.



Post Comment