Review Film Rambo
Review Film Rambo. Rilis Januari 2008, Rambo (sering disebut Rambo IV atau John Rambo) jadi kembalinya Stallone ke karakter ikoniknya setelah 20 tahun absen. Kali ini dia nggak cuma main, tapi tulis naskah dan sutradarai sendiri. Hasilnya? Film paling brutal, paling berdarah, dan paling gelap sepanjang seri. Ini bukan lagi aksi 80-an yang cheesy; ini perang sungguhan dengan rating dewasa dan pesan keras tentang kekejaman di dunia nyata. BERITA BOLA
Rambo yang Sudah Tua dan Muak: Review Film Rambo
Di usia 60-an, Rambo hidup sendirian di Thailand utara, tangkap ular, tempa pisau, dan bantu nelayan. Dia sudah capek perang, capek manusia. Ketika sekelompok misionaris Kristen minta diantar ke Burma (Myanmar) yang lagi dilanda perang saudara, Rambo awalnya nolak: “Are you bringing any weapons? … Then you’re not changing anything.” Tapi akhirnya dia setuju, dan ketika rombongan itu ditangkap dan disiksa junta militer, Rambo balik ke mode pembunuh tanpa ampun.
Kekerasan yang Nggak Main-Main: Review Film Rambo
Berbeda dari tiga film sebelumnya yang masih ada batas, Rambo 2008 bener-bener nggak kasih rem. Kepala meledak, badan robek pakai M2 Browning, anak-anak dilempar ke api, wanita diperkosa, desa dibakar hidup-hidup. Adegan sniper Rambo tembak kepala tentara dari jarak 800 meter, lalu klimaks di mana dia pakai senapan mesin .50 cal dan potong-potong musuh seperti rumput, masih bikin orang geleng-geleng sampai sekarang. Film ini pegang rekor “most kills” oleh satu karakter dalam satu film: 83 orang mati di tangan Rambo dalam 90 menit.
Pesan yang Lebih Gelap dari Sebelumnya
Di balik gore, ada pesan pahit: dunia nggak pernah berubah. Burma waktu itu memang lagi dalam genosida terhadap suku Karen, dan Stallone pakai film ini buat sorot isu yang jarang dibahas Hollywood. Monolog pendeta “When you’re pushed, killing’s as easy as breathing” adalah pengakuan Rambo bahwa dia sudah jadi monster karena dunia membuatnya begitu. Di akhir, ketika dia pulang ke Amerika setelah puluhan tahun, langkahnya di jalan tanah Arizona terasa lebih berat daripada semua ledakan tadi.
Kenapa Masih Nendang di 2025
Rambo 2008 adalah reboot yang nggak takut tua. Stallone kasih kita veteran yang sudah lelah tapi masih paling mematikan di planet ini. Tidak ada humor, tidak ada one-liner konyol, cuma darah, lumpur, dan keheningan setelah tembakan berhenti. Banyak yang bilang ini film Rambo terbaik sejak film pertama, karena kembali ke akar: satu orang melawan sistem yang jauh lebih besar, tapi kali ini tanpa ilusi kemenangan.
Kesimpulan
Rambo 2008 adalah film yang nggak buat semua orang. Terlalu brutal, terlalu gelap, terlalu jujur. Tapi kalau kamu mau lihat Stallone di puncak fisik dan emosional terakhirnya, lihat John Rambo yang sudah nggak peduli lagi tapi tetap berdiri, ini filmnya. Di akhir, ketika dia berjalan pulang dan tulisan “Home” muncul, kamu sadar: dia nggak pulang karena menang. Dia pulang karena sudah nggak ada lagi yang perlu dibunuh. Dan itu mungkin ending paling tragis sekaligus paling pas buat karakter ini. Live for nothing, or die for something. Rambo pilih yang kedua, lagi.



Post Comment